Jumat, 05 Februari 2016

7 ALASAN KITA KUDU BERTANYA


7 ALASAN KITA KUDU BERTANYA

            “Aih, tunggu mereka yang nanyain kita dong, De”
“Aih, ya lama dong, teh. Ntar kita bisa bulukan duluan di sini. Banjir malah”
Dua percakapan antara dua perempuan (mungkin) kakak dan adik di ruang tunggu sebuah bandara internasional di Jakarta sempat membuat penulis tersenyum. Sang kakak yang sebenarnya sudah menahan diri ingin buang air kecil sejak dari rumah dan buru-buru ke bandara untuk menjemput kerabatnya, enggan untuk menanyakan lokasi toilet pada petugas di bandara tersebut.
Sang adik yang akhirnya bertanya pada salah satu staf bandara dan dari bahasa tubuhnya, ia mendapat jawaban yang memuaskannya. Keduanya pun pergi menuju arah yang diberitahu staf bandara tersebut.
Kejadian serupa mungkin masih sering kita temui di lingkungan sekitar. Orang lebih memilih menunggu jawaban datang dengan sendirinya tanpa mau bertanya. Padahal sebenarnya, selain tak sesat di jalan, masih banyak lagi manfaat dari bertanya. Berikut ini akan diulas 7 alasan kuat mengapa kita wajib bertanya. Check it out!
1.      Tidak semua orang tahu isi hatimu, kawan.
Ya, jika semua orang tahu isi hati kita, cukup bicara dalam hati, semuanya jadi beres. Tapi komunikasi efektif saat imi adalah dengan berbicara. Tanpa memberitahu apa yang kita inginkan pada lawan bicara kita, mereka juga tidak akan tahu apa yang ingin kita tanyakan jika kita tidak mengutarakannya dengan jelas. Jika kita lagi sakit gigi atau sariawan sehingga sulit untuk berbicara, setidaknya siapkan handphone atau secarik kertas memo agar sewaktu-waktu bisa digunakan untuk menulis apa yang kamu inginkan.
Satu pengecualian jika kita sedang berada dalam layar kaca dalam suatu sintron atau semacamnya dan disiarkan melalui TV kabel, yang di dalamnya ada dialog hati tapi bisa didengar oleh penonton di seluruh dunia. Atau seperti dalam salah satu adegan Carmen dan Juni Cortez dalam film Spy Kids, yang mana mereka tidak dapat bicara tapi mampu mendengar bisikan hati. Dijamin mereka akan tahu isi hati kita J.
2.      Pengetahuan yang luas dan media yang beragam.
Ilmu yang luasnya meliputi langit dan bumi tentu tidak bisa dengan mudahnya masuk ke otak kita. Bahkan orang yang dianugerahi otak jenius pun tidak selalu tahu akan semua hal. Termasuk juga buku. Tidak semuanya mampu kita baca. Aih, buku-buku yang pernah dibeli di bazar pun belum tuntas semuanya dibaca. Adakah yang seperti itu?
Antara bicara dan membaca sebenarnya sama jika dilihat dari segi konteks dan tujuan. Kita bertanya dan seseorang menjawab. Perbedaannya terletak pada medianya. Jika saat bicara, kita bertanya langsung pada orang, dan dijawab secara langsung pula oleh mereka, maka melalui media kita mencari jawabannya melalui buku yang kita baca.
3.      Diam berarti menunggu.
Jika diadakan survei tentang kegiatan apa yang paling membosankan? Sudah dapat dipastikan ada yang memilih jawaban ini. Ya, menunggu. Dari zamannya warteg sampai tablet dan handphone layar sentuh (konon ketiganya memang memiliki hubungan persaudaraan), kegiatan satu ini membuat semua orang kesal bin BT.
Sama halnya dengan menunggu seseorang menawarkan bantuannya kepada kita. Diamnya kita berarti menunggu, yang entah sampai kapan, bahkan mungkin dalam waktu yang lama sampai orang mau menawarkan bantuannya kepada kita.
Seorang kawan pernah menceritakan pengalamannya saat berada dalam posisi itu. Ia berangkat ke Jakarta naik kereta api. Tanpa jam tangan dan kondisi ponsel yang lowbat, ia tiba di stasiun. Mulanya ia enggan bertanya karena merasa tidak terlambat. Namun setelah mendengar pemberitahuan tentang salah satu kereta yang akan berangkat, ia mulai gelisah dan bertanya pada salah satu petugas di sana. Ternyata memang kereta itulah yang seharusnya mengantar ia tempat tujuan. Ia pun berlari-lari mengejar kereta itu.
4.      Inisiatif sama efektifnya dengan bertanya.
Memang benar, kita bisa menghindar dari ‘bertanya’ dengan cara berinisiatif sendiri mencari tahu jawabannya. Misalnya seperti kasus dua bersaudara di atas yang hendak mencari toilet di sebuah bandara internasional, yang memang baru pertama kali mereka datangi. Berinisiatif dengan mencari sendiri toilet itu atau mencari petunjuk melalui plang yang biasanya mengarahkan ke tempat itu. Namun dalam kasus ini, bertanya akan jauh lebih efektif. Apalagi banyak petugas ramah nan murah senyum yang bersedia menjawab pertanyaan kita.
5.      Persiapan yang matang.
Ibarat hendak pergi berperang. Semua aktivitas yang kita agendakan perlu persiapan yang matang. Namun ada kalanya waktu yang tersedia tidak cukup untuk membuat semua persiapan tersebut. Nah, dalam kondisi ini sangat perlu untuk bertanya.
Salah satu contohnya (misal) kita ingin mengisi liburan dengan backpacker-an ke beberapa daerah di Indonesia. Kita bisa berkomunikasi dengan cara bergabung dengan grup backpacker domestik Indonesia yang banyak bermunculan di jejaring sosial. Tentunya bukan hanya untuk menambah daftar kenggotaan grup, tapi juga sebagai tempat kita bertanya tentang referensi tempat, estimasi biaya, hingga spot-spot yang oke untuk kita datangi. Selain admin, biasanya selain anggota grup akan langsung menjawab pertanyaan yang kita ajukan. Kalau sempat, grup yang aktif juga sering mangadakan kopdar. Dalam forum itulah kita bisa memuaskan diri bertanya tentang dunia backpacker.
6.      Malu malu-maluin.
Ada yang mengatakan, malu adalah hiasan cantik seorang wanita. Aih! Tapi tentu sikap malu ini harus pada tempatnya. Jangan sampai karena ‘malu’ yang tidak sesuai pada tempatnya, jadinya malah ‘malu-maluin’. Seperti halnya orang yang datang ke suatu acara dan sudah tampil keren tapi karena malu dan gengsi untuk bertanya, eh, justru salah kostum karena tidak tahu tentang dresscode-nya.
7.   Bertanya = merendahkan harga diri.
Ini yang seringkali dijadikan alasan orang enggan untuk bertanya. Kekhawatiran harga diri yang jatuh dibarengi dengan sikap sok tahu mengalahkan naluri ketidaktahuan kita. Padahal, seperti yang pernah diulas sebelumnya, orang jenius di belahan bumi manapun tidak semuanya serba tahu akan sesuatu. Padahal, seorang bayi yang baru lahir pun mau belajar dan bertanya melalui apa yang ia lihat, rasa, dan dengar. Padahal juga, dulu saat kita kecil, kita bisa mengajukan pertanyaan yang sama pada orang tua kita sampai lebih dari 3 kali.
Beribu ‘padahal’ lainnya yang menjadi alasan kita harus ‘bertanya’ perlu kita cari tahu sendiri. Karena sudah menjadi kodrat kita sebagai manusia untuk mencari ilmu dan belajar, yang salah satunya dapat ditempuh dengan cara bertanya. Orang pintar pasti tak pernah merasa gengsi untuk bertanya. So, masih gengsi untuk bertanya? Tidak, bukan? J